Beberapa tahun lalu, bila wacana tentang pernikahan disodorkan ke hadapan saya, maka saya akan mengatakan bahwa sebuah pernikahan adalah indah dan menyenangkan saja.
Bagaimana mungkin tidak indah ketika kita bisa selalu bersama dengan orang yang kita cintai dan menghabiskan sisa usia sampai mati. Indah, persis seperti cerita pangeran dan putri di negeri dongeng.
Prince and princess get married and they live happily ever after!Tapi, sayangnya kita tidak sedang hidup di negeri dongeng.
Kita hidup di dunia nyata yang di dalamnya tidak hanya menawarkan bunga yang indah, tapi juga hujan dengan petir yang menyambar. Dengan berbekal pengalaman hidup yang ala kadarnya, akhirnya saya menyimpulkan bahwa bila pernikahan dengan segala konsepnya harus dirangkum dalam satu kata saja, saya akan menyebutkan kata perjuangan.
Ya, menikah berarti perjuangan...
Ketika kita mengikrarkan janji sehidup semati di hadapan-Nya, berarti kita telah menyiapkan diri untuk berbagi hidup dengan orang lain. Kesediaan untuk berbagi hidup dengan orang lain, sama artinya dengan keikhlasan dan kerelaan untuk menurunkan ego hingga beberapa tingkat yang bagi sebagian orang dirasakan sebagai suatu bentuk penurunan harga diri.
Tidak ada lagi aku atau kamu, yang ada adalah kita...Dua orang yang sama-sama sedang berusaha menggenapkan cinta...
Pernikahan bukan hanya sebuah keinginan, namun sebuah keberanian untuk mengambil tanggung jawab dan kesiapan untuk berjuang, begitu menurut sebuah buku yang saya baca.
Sedangkan guru mengaji saya mengatakan bahwa pernikahan memerlukan kesiapan fisik,mental dan spiritual...Menghadapi hal tersebut, akhirnya saya mencoba membekali diri dengan banyak membaca buku-buku tentang pernikahan.
Hasilnya? semakin banyak tahu, semakin rumit pula konsep pernikahan dalam benak saya.
Dan bertaburanlah kata-kata yang mengiringi kata pernikahan, diantaranya adalah, cinta, kesabaran, keikhlasan, keridhoan, empati, komunikasi dan masih banyak lagi.
Menggenapkan setengah dien? alangkah terjal dan berliku...Tapi, ketika Allah telah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengemban amanah besar itu, Dia pun telah menyediakan pula sandaran tempat manusia bergantung.
Sandarannya, tentu saja hanya Dia...
Pertanyaannya kemudian adalah,akankah saya sanggup untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong, melibatkan-Nya dalam setiap persoalan kehidupan pernikahan saya kelak?Karena, menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran hidup tidak bisa hanya diucapkan di mulut saja.
Kesadaran itu hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh dua orang yang sama-sama bersedia untuk merendahkan diri dan membuka hati untuk menerima kebenaran-Nya, ketimbang ego pribadi. Ego sebagai suami atau sebagai istri. Sama-sama menyadari bahwa kita hanya lah makhluk lemah yang setiap saat akan selalu membutuhkan pertolongan-Nya.
Karena hakikat menikah itu sendiri adalah sebagai sarana pembuktian cinta kita kepada Tuhan dan bukan pembuktian cinta kepada pasangan.Sekali lagi, pernikahan adalah sebuah perjuangan. Maka, apakah kemudian saya menjadi takut untuk menikah setelah mengetahui segala kewajiban dan konsekuensinya? Tentu saja tidak.
Karena bagaimanapun dengan menikahlah, cinta saya terhadap agama dan Tuhan saya menjadi genap dan sempurna...
Jadi, kalaupun kaki saya harus berdarah-darah dalam menapaki pernikahan, saya harus ikhlas dan ridho agar darah dan air mata saya tidak menjadi sia-sia...Demikiankah?
Wallahualam...