Wednesday, January 17, 2007

Berdamai dengan Takdir!

Pernahkah anda merasa tiba-tiba hidup serasa di ujung tanduk hanya dalam sekejap?
Suatu hari dalam kehidupan saya, untuk pertama kalinya saya merasa Allah menguji saya dengan kesedihan dan keterpurukan yang amat sangat.
Saya dihadapkan pada pada suatu peristiwa yang cukup mengenaskan, menyedihkan (ntah sampai kapan rasa itu akan hilang) yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benak,bahwa suatu saat saya akan mengalaminya.
berusaha sekuat tenaga untuk mengingkari semua kenyataan itu, berharap semua hanya mimpi, dan ketika saya terbangun, semua masih baik-baik saja.
Tetapi, kenyataan adalah kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi,sepahit apapun.
Bila duka memiliki warna, maka amat pekatlah hidup saya saat itu.
Bagaimana tidak? peristiwa itu sangat menghentak jiwa dan sempat membuat saya merasa 'mati', Mati dari rasa berharap untuk melihat mentari esok hari, mati dari rasa berharap untuk menatap masa depan.
Duka hati saya jangan ditanya...Hati saya berontak, protes kepada-Nya pun sempat terlontar. "Mengapa lagi-lagi terjadi kepada saya Tuhan? Ujian ini terasa sangat berat"Batin saya menangis. Life was so unfair to me...Keimanan saya benar-benar diuji.
Saat itu makna takdir menjadi sangat sulit untuk saya cerna. Pikiran saya buntu, sama sekali tidak bisa berfikir.
Tampaknya bukan hal yang mudah untuk menjelaskan sesuatu yang sepintas sederhana tetapi sangat esensial.
"Takdir adalah kehendak-Nya, tetapi tidak serta merta kita boleh menyalahkan-Nya.
Dia tidak pernah salah, kita lah manusia yang sering lalai.
Bisa jadi, ini adalah peringatan karena kita melupakan-Nya.Yang jelas, semua ini harus mampu menjadikan kita manusia yang lebih taat lagi".Saya terdiam.
Kesadaran sayapun timbul. Seketika saya beristigfar.
Tiba-tiba saja saya merasa amat lemah di bawah lemah.
Saya hanya debu di hadapan-Nya.
Tertiup angin pun lenyaplah saya.
Pun jika saat itu nyawa saya diambil-Nya, saya bisa apa? Ya, Dia Maha Berkehendak dan Maha Suci dari segala prasangka buruk.
Dia tidak pernah mendzolimi hamba-hamba-Nya. Kalaupun saya ditimpa kesakitan atau musibah, pada hakikatnya adalah karena kesalahan saya sendiri.
Manusia, eh..saya memang makhluk menyebalkan.
Seringkali harus ditegur untuk menjadi sadar. Sadar akan diri yang penuh dosa.
Dosa saya memang sudah terlampau membuih dan terlanjur berkarat sehingga Allah mempunyai 'cara' sendiri untuk membersihkan dosa-dosa saya.
Musibah itu semoga bisa menjadi kifarat dosa-dosa saya...Akan tetapi, memang tidak ada sesuatu yang sia-sia.
Akan selalu ada hikmah diantara puing-puing yang berserakan.
Kejadian itu memberikan banyak sekali pelajaran hidup untuk saya.
Ternyata bisa menjadi sarana pembelajaran paling efektif.
Karena segala teori tentang kesabaran, keikhlasan, ketawakalan dan teori -teori lainnya menuntut untuk segera diamalkan.Musibah adalah ujian praktek dari kehidupan, itu kesimpulan saya...Kehendak Allah memang seringkali tidak dapat dipahami, karena manusia yang amat sangat dhoif memang tidak mungkin dapat memahami Dia yang Maha Mengetahui.Tetapi saya percaya, sepahit apapun, segetir apapun, skenario-Nya selalu indah, selalu baik...Maka,"Dalam perspektif keimanan, Ia Maha Suci dari keburukan,dan proses hidup yang digariskan-Nya untuk siapapun adalah sempurna.
Yang menjadi persoalan adalah ketiadaan keberanian seseorang untuk percaya , bahwa semua kenyataan yang menekan jiwa dan membakar hati itu, pada dasarnya adalah baik.
Yang Maha Pengasih tampaknya ingin menyatakan bahwa bergantung kepada siapapun dan apapun yang terbaik, selama semua itu masih berwujud ciptaan-Nya adalah sia-sia.
Hanya Dia lah sumber keseimbangan,kebahagiaan dan kekuatan yang sebenarnya".
Ya, ketika takdir-Nya bicara, memang tidak ada yang bisa dilakukan selain menjaga keimanan agar tidak menjadi redup.Keimanan untuk tetap meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak-Nya, seperti juga sehelai daun yang terjatuh hanya atas izin-Nya.Meyakini hanya Dia lah sebaik-baik penolong, sebaik-baik penentu keputusan...

Terakhir, saat logika manusia sudah tidak lagi mendapat tempat dan hati sudah mulai letih untuk diajak berdebat, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk melakukan perdamaian.
Berdamai dengan hati, berdamai dengan takdir...
Agar lenyap segala duka, kegelisahan, prasangka buruk dan amarah,
sehingga hanya keridhoan saja yang bersemayam dalam hati...